Senin (14/3) lalu kawasan Balai
Kota DKI Jakarta, Istana Negara, dan kantor Kementerian Komunikasi dan
Informatika diserbu ribuan pengemudi taksi.
Mereka berdemo menolak kehadiran
taksi yang berbasis aplikasi online. Anda pasti bisa dengan mudah menerka
penyebabnya. Iya, penghasilan mereka terpangkas akibat hadirnya taksi berbasis
aplikasi. Bahkan sebetulnya bukan hanya taksi itu yang membuat penumpang
berpindah. Ojek online merebut sebagian pasar taksi konvensional. Baca disini
Mereka mengeluh, utang setoran ke
perusahaan terus bertambah. Padahal, uang yang dibawa pulang untuk makan
anak-istri makin turun. Kita tentu prihatin dengan kenyataan tersebut. Apalagi
jumlah pengemudi angkutan umum ini tidak sedikit. Seluruhnya bisa mencapai
170.000-an. Sampai di sini Anda mungkin bergumam: mengapa mereka tidak berubah
saja? Ke mana para eksekutifnya? Mengapa mereka membiarkan pasarnya digerus
para pelaku bisnis online tanpa berupaya melakukan perubahan internal? Tentu
semua ini tak akan mudah.
Sampai di sini adagium perubahan
kembali berbunyi: kalau rasa sakit manusia itu belum melebihi rasa takutnya,
rasanya belum tentu mereka mau berubah. Maaf, pesan ini berlaku buat kita
semua, baik yang sedang duka maupun yang masih gembira. Tapi, supaya fair, kita
juga mesti melihatnya dari sisi yang lain, yakni pengemudi taksi berbasis
aplikasi dan ojek online .
Mereka juga tengah mencari
penghasilan untuk mencukupi kebutuhan anak istrinya. Lalu, pelanggannya juga
senang memakai taksi berbasis aplikasi karena serasa naik mobil pribadi dan
tarifnya pun murah. Begitu selesai langsung turun. Praktis. Tak pakai
bayar-bayaran tunai. Bisnis taksi berbasis aplikasi ini juga punya pesaing. Anda
bisa klik www.nebeng.com. Iniaplikasi yang juga mempertemukan pemilik kendaraan
pribadi dengan mereka yang membutuhkan angkutan ke arah yang sama.
Tarifnya tak kalah bersaing.
Misalnya tarif dari Perumahan Vila Nusa Indah di Bekasi ke Jakarta hanya Rp15.000
sekali jalan. Murah! Para pemilik kendaraan yang rela “ditebengi” ini juga ikut
andil dalam mengurangi kemacetan di Jakarta. Ketimbang setiap orang naik mobil
pribadi, lebih satu mobil dipakai bersama-sama dengan cara nebeng. Jumlah mobil
yang masuk ke Jakarta jadi lebih sedikit.
Pertarungan Business Model
Tapi, mari kita bahas soal
perseteruan taksi konvensional vs taksi berbasis aplikasi. Hadirnya
taksi berbasis aplikasi, menurut saya, adalah penanda datangnya era crowd
business. Apa itu crowd business? Sederhana. Ini bisnis yang kalau Anda
mencoba mencari polanya bakal pusing sendiri. Sebab serba tidak jelas.
Misalnya, tidak jelas batasan antara produsen dan konsumen. Juga, tidak jelas
kreditor dengan debitor.
Siapapun bisa menjadi pemasok
Anda, tetapi sekaligus menjadi konsumen Anda. Crowd business kian
kencang berputar akibat kemajuan teknologi informasi— yang terutama membuat
arus informasi mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi.
Dulu kalau kita mau mencari suatu barang mesti menghabiskan waktu, tenaga dan
uang. Kita datang ke beberapa toko, melihat barang, membandingkan harganya, dan
melakukan tawar-menawar.
Kalau setuju, baru kita membayar.
Kini tidak perlu lagi. Kita cukup berselancar di dunia maya, mencari barang dan
membandingkannya, memilih, memesan, lalu membayar. Semuanya bisa dilakukan
tanpa kita harus beranjak dari kursi dan dengan biaya nyaris nol. Itu pula yang
terjadi dalam perseteruan antara bisnis taksi konvensional vs taksi
berbasis aplikasi.
Di bisnis taksi konvensional,
kita bukan hanya harus membayar jasa angkutannya, tetapi secara tidak langsung
juga mesti menanggung biaya kredit mobilnya, gaji pegawai perusahaan taksinya,
biaya listrik dan AC, dan sebagainya. Di bisnis taksi berbasis aplikasi, kita
tidak ikut menanggung biaya-biaya tersebut. Jadi, tak mengherankan kalau
tarifnya bisa lebih murah. Kolega saya pernah membandingkan.
Untuk rute Cakung ke Halim
Perdanakusuma yang samasama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional
tarifnya Rp105.000, sementara dengan taksi berbasis aplikasi hanya Rp55.000.
Ini jelas pilihan yang mudah buat calon konsumen. Switching cost dalam industri
ini amat rendah. Maka terjadilah downshifting. Lalu, bagaimana yang satu bisa
lebih mahal ketimbang yang lain? Ini adalah persoalan model bisnis.
Analoginya mirip bisnis
penerbangan full service dengan low cost carrier (LCC). LCC
mendesain model bisnisnya dengan memangkas berbagai biaya, sehingga tarifnya
menjadi lebih murah ketimbang maskapai penerbangan yang full service.
Model bisnis inilah yang membuat bisnis taksi era lama bakal segera usang.
Pesaingnya bukan sesama bisnis
taksi, melainkan para pembuat aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil
pribadi dengan calon konsumen yang membutuhkan jasa angkutan. Selamat datang di
peradaban sharing economy. Efisiensi menjadi kenyataan karena kita saling
mendayagunakan segala kepemilikan yang tadinya idle dari owning economy.
Berdamai, bukan Menentang
Kasus serupa bisnis taksi bakal
kita jumpai dalam bisnis-bisnis yang lain. Di luar negeri, pangsa pasar bisnis
perbankan mulai terganggu oleh hadirnya perusahaan-perusahaan crowd
funding. Anda bisa cek ini di www. l e n d i n g c l u b . com. Perusahaan ini
mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam bentuk kredit ke
masyarakat.
Bedanya, proses mendapatkan
kreditnya jauh lebih simpel ketimbang perbankan, dan suku bunganya pun lebih
murah. Di Indonesia, bisnis ala lending club sudah ada. Anda bisa cek
website-nya di www.gandengtangan.org. Memang untuk sementara bisnis yang didanai
masih untuk usaha skala UMKM dan social enterprise. Tapi, siapa tahu ke
depannya bakal melebar ke mana-mana Di luar negeri, ada www.airbnb.com yang
mempertemukan para pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya dengan
orang-orang yang mencari penginapan.
Soal tarif, jelas lebih murah
ketimbang hotel. Lalu, ada juga aplikasi yang mempertemukan para pemilik mobil
pribadi dengan calon konsumen angkutan darat. Namanya Lyft. Hadirnya aplikasi
ini membuat bisnis taksi tersaingi. Begitulah, kita tak bisa membendung
teknologi. Ia akan hadir untuk menghancurkan bisnisbisnis yang sudah mapan—yang
tak bisa beradaptasi dengan perubahan.
Persis kata Charles Darwin,
bukanyangterkuatyang akan bertahan, tetapi yang mampu beradaptasi dengan
perubahan. Maka, kita harus berdamai dengan perubahan. Bagaimana caranya? Di
luar negeri, para pengelola chain hotel berdamai dengan kompetitornya, para
pemilik rumah yang siap disewakan melalui jasa www.airbnb.com . Caranya, mereka
menjadi pengelola dari rumah-rumah yang bakal disewakan tersebut sehingga
ruangan dan layanannya memiliki standar ala hotel.
Belum lama ini saya menikmatinya
di sebuah desa di Spanyol Selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego,
perusahaan mainan anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990-an. Hadirnya
video games membuat anak-anak kita tak berminat lagi dengan batu bata mainan
buatan Lego. Namun, perusahaan itu mampu bangkit lagi dengan mengandalkan
inovasi dari orangorang di luar perusahaan, atau crowd sourcing.
Mereka semua belajar dari model
bisnis Kick Starter yang fenomenal. Lego tak melawan perubahan, tetapi
berdamai. Saya tidak punya resep khusus bagaimana caranya setiap perusahaan
mesti menghadapi perubahan. Intinya jangan menentang. Berdamailah dengan
perubahan.
Demikian juga pesan saya kepada
bapak Presiden, Menteri Perhubungan, Gubernur DKI, dan Menteri Kominfo. Kita
butuh cara baru yang berdamaidenganperubahan. Maka, kita semua akan selamat.
Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
0 komentar:
Posting Komentar