Senin (14/3) lalu kawasan Balai
Kota DKI Jakarta, Istana Negara, dan kantor Kementerian Komunikasi dan
Informatika diserbu ribuan pengemudi taksi.
Inilah jenis sekolah yang tumbuh
pesat di Amerika Serikat: charter school. Bukan negeri. Bukan pula swasta. Pendiri
sekolah jenis ini umumnya guru. Yang punya jiwa keguruan 24 karat. Yang
prihatin terhadap mutu pendidikan. baca disini juga
Maksudnya: pendidikan di sekolah
negeri. Terutama di lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya Tyler Bastian ini.
Awalnya dia guru SMA. Untuk mata pelajaran pembentukan karakter. Sesuai dengan
prodi saat kuliah dulu.
Bastian prihatin dengan karakter
remaja di lingkungannya. Begitu banyak yang drop out. Alasannya macam-macam.
Intinya: sekolah tidak menarik bagi mereka. Bastian lantas mengajak beberapa
guru bergabung. Mendirikan charter school. Mereka menyusun pengurus. Bastian
ketuanya.
Sejak 15 tahun lalu sebagian
negara bagian memang mengizinkan berdirinya jenis sekolah baru ini. Bastian mau
itu. Langkah kedua: Bastian menyusun charter. Tebalnya 200 halaman. Mirip
anggaran dasar: sekolah seperti apa yang diinginkan. Dan seperti apa
kurikulumnya. Berikutnya: Bastian menyusun program. Bagaimana mengusahakan
bangunan, peralatan, mencari guru, mencari murid, dan mencari sumber dana.
Semua dokumen itu diajukan ke pemerintah negara bagian. Setingkat pemda
provinsi di sini.
”Setahun saya mempersiapkan semua
itu,” ujar Bastian saat saya mengunjungi sekolahnya. ”Tahun berikutnya sudah
mendapat persetujuan.” Tahun ketiga sekolah dimulai. Persetujuan itu penting:
untuk mendapatkan biaya dari pemerintah. Besarnya Rp 70 juta (USD 5.000) per
siswa per tahun. Memang itu tidak cukup. Tapi lumayan. Lebih dari 70 persen
biaya sekolah. Menurut Bastian, di sekolahnya, per siswa menghabiskan USD
7.000/tahun.
Dia harus mencari sumbangan untuk
menutup kekurangannya. Dia tidak boleh mencukup-cukupkan biaya dari pemerintah
itu. Dia harus memenuhi komitmen mutu pendidikan sesuai dengan charter yang
sudah dia buat. Sekolah milik Bastian ini berada sekitar 20 km dari pusat Kota
Salt Lake City, Utah. Namanya: Roots Charter High School. Bangunannya masih
sewa. Bekas gedung kesehatan. ”Saya beri nama Roots agar siswa belajar
mengenai akar semua masalah kehidupan,” ujar Bastian.
Memasuki ruang kelas sekolah ini,
saya tidak kaget. Inilah ruang kelas SMA di Amerika: siswanya boleh pakai kaus,
sandal, topi, dan celana pendek. Saya lihat seorang siswi membawa anjing ke
kelas. Duduknya pun boleh sesukanya: duduk manis, selonjor, kaki di atas
kursi, dan sebagainya. Susunan kursi juga tidak harus rapi berderet.
Boleh beberapa kursi menggerombol
memisah dari kursi lain. Tidak ada meja. Hanya kursi. Yang ada tempat buku atau
laptopnya. Umumnya murid sibuk dengan laptop masing-masing. Gurunya pun tidak
di depan kelas. Keliling mendatangi murid yang memerlukan supervisi. Murid lain
boleh berdiri di dekat guru. Ikut mendengarkan. Atau tidak.
Hari itu, 18 April lalu, saya
melongok ke tiga kelas: matematika, sejarah, dan kimia. Semua mirip adanya:
guru bersikap seperti teman murid. Pakaiannya pun semaunya
Bastian juga menyewa lahan
berjarak sekitar 100 meter dari sekolah. Untuk praktikum. Saya juga
mengunjunginya. Untuk melihat kekhasan sekolah ini.
Seorang siswi dengan celana jins
sedang memaku papan. Untuk bedeng tanaman sayuran. Tujuh siswa/siswi berada di
kandang kambing.
Mereka mempraktikkan cara
menyayangi anak kambing: merangkulnya di pangkuan, mengelus bagian yang disuka
dan memeluknya. Menurut ilmu menyayangi kambing, bagian leher bawahlah yang
harus dielus. Tentu kandang kambing ini mengingatkan akan masa remaja saya:
menjadi penggembala kambing. Saya sudah biasa menggendong anak kambing,
membantu kelahiran, dan memandikan kambing. Tapi tidak secara ilmiah begini.
Segerombol siswa lagi
memperhatikan temannya memandikan sapi. Seorang guru memberi contoh sesuai
dengan ilmu memandikan sapi. Dulu pun saya biasa membantu memandikan
kerbau. Tapi, menungganginya dulu sepanjang jalan menuju sungai. Sambil meniup
seruling.
Bastian adalah orang pertama yang
mendirikan charter school berbasis pertanian dan peternakan. Relevan dengan
situasi lingkungan sekolah. Siswa ternyata suka pelajaran di luar kelas. Ada
unsur kegiatan fisik dan luar ruang
Charter school memang dimaksudkan
sebagai koreksi. Terutama terhadap rendahnya mutu sekolah negeri. Pelopornya
seorang profesor dari Massachusetts. Namanya Ray Budde. Ketua persatuan guru
AS.
Profesor itu pula yang mengajukan
reformasi pendidikan pada tahun 1974. Sekolah negeri dia anggap terlalu kaku.
Karena bukan berdasar inisiatif masyarakat. Tapi, baru tahun 1974 ada satu
negara bagian, Minnesota, yang menerima ide charter school Prof Budde.
Sejak itu charter school
menggelinding dengan kecepatan Star Wars. Kini sudah 43 negara bagian yang
menerapkan. Jumlah charter school sudah mencapai 5.000 sekolah. Terbukti pula,
kualitas pendidikannya lebih baik.
Tidak sembarang guru bisa
mengajar di charter school. Harus yang bersertifikat. Yang benar-benar terpanggil
jiwa keguruannya. Bastian punya delapan guru untuk Roots High School. Tiap guru
gajinya USD 54.000 per tahun. Sekitar Rp 700 juta.
Keunggulan charter school adalah
ini: tidak ada keseragaman. Ada yang mengutamakan matematika. Ada yang berbasis
teknologi. Rekayasa mesin. Olahraga. Bebas. Tergantung bunyi charter yang
dibuat.
Bastian puas dengan
perjuangannya. Dia bekerja mulai jam 6 pagi sampai 6 sore. Mengajar dan
menyiapkan keperluan sekolah. Dengan semangat.
Ketika saya memperhatikan anjing
besar yang keluar masuk kelas, Bastian berhenti. ”Ini anjing sekolah,”
katanya. ”Kalau ada siswa/siswi yang lagi suntuk, saya minta keluar untuk
main-main dengan anjing ini.” Emosi siswa bisa reda.
Sebenarnya Bastian ingin bisa
punya siswa sampai 300 orang. Tidak hanya 150 seperti sekarang. Tapi, dia belum
bisa cari sumbangan lebih banyak. ”Sulit cari sumbangan. Orang Amerika itu
kaya, tapi jiwanya rakus,” ungkapnya.
Bastian terpanggil mengurusi anak
orang miskin sejak umur 19 tahun. Ketika dia jadi misionaris gereja Mormon di
Honduras. Begitu miskin negara itu. Dia sudah mendirikan sekolah di sana.
Tiap tahun Bastian mengajak enam orang anaknya liburan di Honduras. Agar tahu
bagaimana bisa membantu orang miskin.
Bahwa Bastian Mormon, memang
begitulah umumnya orang Utah. Pihak-pihak yang rapat dengan saya di Utah semua
aktivis Mormon. Misalnya yang ahli teknologi torium itu. Atau yang ahli ekonomi
itu. Di sela-sela rapat saya menemui Tyler Bastian. Eh, Mormon juga.
Mayoritas penduduk Utah memang
penganut Mormon: aliran Kristen yang membolehkan istri lebih dari satu,
melarang makan babi, dan mengharamkan minuman keras. Tentu saya juga
mengunjungi Temple Square di Salt Lake City. Pusat gereja Mormon dunia. Yang
umatnya kini sudah mencapai 15 juta. Antara lain karena Mormon melarang umatnya
ikut KB.
Kembali ke lamanya perjuangan Prof Budde melahirkan charter school tadi, saya jadi merenung: di AS sekalipun memperjuangkan pembaharuan memakan waktu. Untung Prof Budde tidak gampang menyerah. (*)
Dahlan Iskan
0 komentar:
Posting Komentar