Pemandangan
langka tersaji di Stadion Etihad ketika Manchester City menjamu Leicester City,
6 Februari lalu. Dua kali bek Robert Huth membobol gawang Joe Hart. Itu dongeng
tersendiri. Sebelumnya, hanya sekali Huth mencetak dua gol dalam satu
laga. Itu pun sudah lima tahun berlalu, yakni ketika Stoke City menang 3-2 atas
Sunderland pada 5 Februari 2011. baca disini
Dua gol yang membawa Leicester menang 3-1 atas Man.
City itu membuat Huth dielu-elukan. Bahkan, di laman Wikipedia, seseorang
dengan bombastis menulis, "Dia menjadi pahlawan daerah bagi Leicester
ketika mencetak gol saat melawan Manchester City dan membawa mereka menjuarai
Premier League." Padahal, kemenangan atas Man. City hanya membawa The
Foxes unggul lima poin dari Tottenham Hotspur dan Arsenal.
Pemain Leicester City merayakan gol yang dicetak Robert Huth ke gawang Manchester City dalam lanjutan Liga Inggris di Stadion Etihad, Manchester, Sabtu (6/2/2016) malam WIB. (AFP/Oli Scarff). Bagi Huth, itu pengalaman luar biasa. Setahun sebelumnya, dia hanyalah pemain buangan. Oleh manajer Stoke, Mark Hughes, dia dipinjamkan ke Leicester yang tengah berada di dasar klasemen. Hughes berdalih, itu dilakukan agar Huth mendapatkan lebih banyak kesempatan bermain.
Peminjaman tersebut jelas langkah mundur dalam karier Huth yang berstatus pilar penting selama era manajer Tony Pulis sekaligus pemain kesayangan para fans The Potters. Tetapi, seperti kata pepatah, mundur satu langkah untuk melompat dua langkah ke depan adalah lebih baik ketimbang tidak melangkah sama sekali dan berpasrah diri. Seperti diharapkan Hughes, Huth tampil ciamik di Leicester. Kehadirannya di jantung pertahanan diyakini menjadi faktor penting dalam keberhasilan The Foxes menghindari degradasi. Anehnya, prestasi apik itu tak lantas membuat Huth dipanggil pulang oleh Hughes. Saat musim berganti, dia malah dilepas secara permanen dengan tebusan uang 3 juta pounds.
Pemain
Leicester City, Robert Huth, merayakan gol ketiga yang dicetaknya ke gawang
Manchester City dalam lanjutan Liga Inggris di Stadion Etihad, Manchester,
Sabtu (6/2/2016) malam WIB. (AFP/Adrian Dennis)Jalan nasib Huth ternyata lebih
baik. Dia menjadi elemen penting dalam perjalanan Leicester melakoni dongeng
istimewa, mengobrak-abrik peta persaingan juara Premier League.
Dari
kandidat tim degradasi pada musim lalu, kini The Foxes jadi kandidat juara.
Sementara itu, Stoke tetap hanya berkutat di papan tengah dan bawah. Posisi
terbaik Ryan Shawcross cs hanyalah berada di tangga ketujuh pada pekan ke-21
dan 22.
Kiprah
Leicester memang bak dongeng. Sejak awal, mereka diprediksi akan menjalani
nasib seperti musim lalu. Bahkan, ketika The Foxes menunjukkan geliat luar
biasa, tak begitu saja publik berubah pikiran. Sulit, memang sungguh sulit untuk begitu saja meyakini sebuah klub
semenjana akan menjuarai sebuah liga. Berada di papan atas dalam jangka waktu
lama, bahkan memuncaki klasemen sekalipun, tak lantas menumbuhkan keyakinan di
benak banyak orang. Kegemilangan sebuah klub semenjana seringkali hanya
fenomena sesaat, intermeso belaka.
Padahal, sebenarnya, tak sedikit orang yang menyukai dongeng Leicester musim ini. Itu karena setiap orang sesungguhnya masih menyimpan sisi kanak-kanaknya yang antara lain menyukai cerita dongeng. Bukankah hampir semua orang, setidaknya saat kecil, menyukai kisah-kisah tentang peri, liliput, putri jelita, dan pangeran tampan? Musim ini, keyakinan publik sepak bola terhadap kans The Foxes menjuarai Premier League baru tumbuh setelah kemenangan impresif atas Man. city pada laga pekan ke-25 tersebut.
Lihat saja jajak pendapat online yang dilakukan The Telegraph. Hingga Kamis (11/2/2016) pukul 09.35 WIB, dari 15.787 suara, 72% sepakat Leicester akan mengangkat trofi juara pada akhir musim nanti. Persentase lebih tinggi, 75%, muncul dalam jajak pendapat online Mirror. Sementara itu, lima dari delapan penulis khusus sepak bola The Guardian kini tak ragu menjagokan Huth cs.
Keyakinan serupa kian tumbuh di benak Claudio Ranieri, sang manajer. “Juara? Ada banyak tim super di sini. Tapi, kami akan mencoba. Mengapa tidak?” kata dia seperti dikutip harian Corriere dello Sport. Lebih lanjut, dia berujar, “Ini adalah tahun terbaik untuk juara. Tahun depan, kami mungkin hanya akan berada di papan tengah. Mungkin di posisi ke-10.”
Juara
bukanlah harapan hampa bagi Leicester. Berada di puncak klasemen pada pekan
ke-25 adalah modal sangat berharga. Pada era Premier League, sejak 1992-93, 17
perebut trofi adalah tim yang memimpin klasemen pada pekan ke-25. Anomali hanya
terjadi enam kali. Artinya, Leicester kini menggenggam kans juara sebesar
73,91%.
Bagi Ranieri, memuncaki klasemen saat memasuki Februari juga hal baru. Sebelumnya, dia paling banter hanya berada di posisi kedua. Itu saat dia menangani Fiorentina pada 1995-96, Valencia (1998-99), Juventus (2008-09), dan AS Monaco (2013-14). Berada di puncak klasemen membuat Ranieri tak perlu dihantui kegagalan masa lalu yang membuatnya dicap sebagai Mr. Runners-up. Dia bisa yakin akhir dongeng kali ini akan berbeda.
Lalu, keunggulan lima angka atas pesaing terdekat punya arti tersendiri. Sebelumnya, ada 13 tim yang memimpin klasemen dengan keunggulan setidaknya lima angka setelah 25 pekan berlalu. Hasilnya, sepuluh tim tampil sebagai juara.
Hal terpenting, The Foxes tidak berubah sikap. Meski optimistis, mereka tak lantas jemawa. Seperti pada awal musim, Ranieri tetap menanamkan kewaspadaan. Baginya, setiap laga adalah final. “Kami menatap setiap pertandingan sebagai laga pamungkas,” tegas pria asal Italia itu. Sangat penting bagi Leicester untuk tetap bermain tanpa beban. Di sanalah terletak die Freude am Fussball 'kegembiraan dalam sepak bola' mereka. Sejak datang pada awal musim ini, Ranieri memandang penting unsur yang satu ini.
Eks manajer Chelsea tersebut coba membuat segalanya lebih ringan dan masuk akal. Dia tak terlalu sering berbicara soal taktik karena tahu persis, tak seperti di Italia, para pemain di Inggris tak menyukai hal itu.
Lalu, Ranieri pun membuat pola latihan yang lebih nyaman. Hanya pada Selasa dan Kamis mereka berlatih keras, sementara pada Minggu dan Rabu justru libur.
Dalam
pandangan Ranieri, dua hari libur itu sangat penting dalam menjaga periodisasi
pemain di tengah jadwal padat. Soal porsi makanan yang dilahap para pemain,
Ranieri juga tak ambil pusing. Dia memaklumi hal itu karena beratnya kerja yang
mereka lakukan di lapangan. Satu-satunya hal yang dituntut Ranieri adalah
totalitas. Dia meminta semua pemain bekerja keras. Di lapangan, itu diwujudkan
dalam permainan yang penuh tenaga dan komitmen tinggi.
Secara
khusus, The Foxes sangat kuat dalam duel. Itu tercermin dari jumlah tackle,
blok, cegatan, dan duel satu lawan satu yang tinggi. Secara tidak langsung,
armada Ranieri mengusung prinsip "Jika memenangi tackle, Anda memenangi
laga."
Terlepas dari hasil yang diperoleh pada akhir musim nanti, dengan dongeng yang dibuatnya, Leicester sudah juara. Mereka sudah merebut hati banyak orang. Mereka juga, seperti dikatakan Ranieri, telah memberikan harapan bagi semua orang bahwa uang bukanlah segalanya di sepak bola. Siapa pun bisa membuat dongeng dan berprestasi tinggi tanpa harus berkocek tebal.
ASEP GINANJAR*
*Penulis adalah pemerhati sepak bola dan kerap
menjadi komentator di beberapa stasiun televisi nasional. Penulis juga pernah
jadi jurnalis di tabloid Soccer.
0 komentar:
Posting Komentar