Doa Seorang Pemuda Rangkas Bitung di Rotterdam adalah salah
satu puisi indah dari almarhum WS. Rendra tentang kritik terhadap pembangunan.
Ia mewakili seorang pemuda yang penuh kegalauan melihat kondisi masyarakatnya.
Ia melihatnya sebagai sebuah sampah dari pembangunan atau sampah peradaban.
Kegalauan yang dirasakannya ketika berada di Rotterdam. Jiwanya terbang
kerentetan sejarah dan melihat keindahan kampungnya serta penindasan dan
ketidakadilan pada negerinya, seperti bait "Dan para cukong selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama".
Kemudian
ia sempat ragu untuk menentukan sikap apakah ia melawan atau berdiam diri atas
penindasan tersebut? Pada bait "Apakah aku harus berenang melawan arus? Astaga! Pertanyaan apa ini! Apakah
aku takut? Ataukah aku menghiba? Apakah aku takut lalu menghiba? Pertanyaan apa
ini!". Ia tetap gelisah. Kemudian ia menyerahkannya kepada Allah.
Puisi ini akan menghancurleburkan perasaan, jika kita melihat kondisi
masyarakat kita. Di suatu sore ketika saya berjalan ke sebuah kawasan elite,
aku melihat apa yang digambarkan WS Rendra terlihat nyata. Bagaimana bumi putra
menjadi hamba di kampungnya sendiri, tidak berdaulat di tanah tempat ia lahir.
Aku melihat mereka menyapu jalanan sebagai tukang sapu jalanan, aku melihat
mereka sebagai babu di setiap rumah mewah, menjadi sopir ataupun satpan untuk
para orang kaya yang bukan bumi putra. Aku melihat sebuah kemiskinan, sebuah
keterjajahan secara kultural dan ekonomi. Ya demikianlah sekilas pandangan yang
aku dapatkan. Puisi WS Rendra tetap memberikan kesadaran kepada kita tentang
bagaimana nasib bangsa ini.
Dan pandangan ini semakin terang ketika reklamasi Teluk Jakarta
dilakuka.n. Tanpa bersangka buruk, aku membayangkan bahwa akan dibangun real
estate, hotel, wisata, perkantoran yang harganya akan selangit. Yang tampak
hanyalah orang-orang kaya yang bukan bumiputra bersileweran. Dan hanya
segelintir bumi putra yang ada disana, ya.. Bumiputra menjadi pelayan bagi
tuan-tuannya. Tak ada seorangpun yang boleh masuk, kecuali memiliki prevelige.
Satpam akan menghadang padahal ia juga bumiputra. Bumiputrapun saling
berhadangan untuk tuan-tuan mereka. Jadi pembangunan itu untuk siapa? Padahal, pembangunan itu harus berkeadilan sosial. Apakah ini kecemburuan sosial?
Rasa-rasanya ia. Aku bertanya dimana negara yang melidungi masyarakat dari
penindasan peradaban ini? Bagaimana negara memberdayakan dan melindungi mereka?
Untuk Apa gedung pencakar langit, rumah dibawah laut, jika masyarakatnya hanya
melelehkan liur memandangnya dan tak sanggup menyentuhnya, apalagi
menikmatinya.
Barangkali pemuda dapat bercermin lagi, pada kegalauan pemuda rangkas
bitung dalam puisi indah penuh pergolakan jiwa dari WS Rendra. Kemudian
berpikir ulang, apa yang harus dilakukan. Tidak usah muluk-muluk. Cukup
memberdayakan dirinya sendiri. Oke kita nikmati saja puisi WS Rendra berikut
ini.
DOA SEORANG
PEMUDA RANGKASBITUNG DI ROTTERDAM
Oleh W.S. Rendra
Bismillahir rahmaanir rahim.
Allah! Allah!
Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
yang menyembul dari selimut.
Aku membuka mata
dan aku tidak bangkit dari tidurku.
Aku masih mengembara
di dalam jiwa
Burung-burung terbakar di langit
dan menggelepar di atas bumi.
Bunga-bunga apipun diterbangkan angin
jatuh di atas air
hanyut di kali, dibawa ke samudera,
disantap oleh kawanan hiu
yang lalu menggelepar
jumpalitan bersama gelombang
Aku merindukan desaku
lima belas kilo dari Rangkasbitung.
Aku merindukan nasi merah,
ikan pepes, desir air menerpa batu,
bau khusus dari leher wanita desa,
suara doa di dalam kabut.
Musna. Musna. Musna.
Para turis, motel dan perkebunan masuk desa
Gadis-gadis desa lari ke kota
bekerja di panti pijat,
para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan
Dan akhirnya
digusur atau ditangkapi
disingkirkan dari kehidupan.
Rakyat kecil bagaikan tikus.
Dan para cukong
selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama
Musna. Musna. Musna.
Kini aku di sini. Di Rotterdam.
Menjelang subuh. Angin santer.
Jendela tidak kubuka,
tapi tirainya aku singkapkan.
Kaca basah. Musim gugur.
Aku mencium bau muntah.
Orang Negro histeris ketakutan
dikejar terror kulit putih
di tanah leluhurnya sendiri
di Afrika Selatan
Kekerasan, Kekuasaan. Kekerasan.
Dan lantaran ada tambang intan di sana,
kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
juga termasuk yang demokrat,
memalingkan muka,
bergumam seperti orang bego,
dan mengulurkan tangan di bawah meja,
melakukan kerjasam dagang
dengan para penindas itu.
Dusta. Dusta. Dusta.
Ya, Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku akan berenang melawan arus?
Langit nampak dari jendela.
Ada hujan bulu-bulu angsa.
Aku hilang di dalam kegegapan.
Aku tidak bisa bersikap apa-apa
Ada trem lewat.
Trem? Buldoser? Panser?
Apakah aku akan menelpon Linde?
Atau Adrian?
Berapa lama akan sampai
kalau sekarang aku menulis surat
kepada Makoto Oda di Jepang?
Sia-sia. Musna. Musna.
Rotterdam! Rotterdam!
Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta
Bau daging yang terbakar.
biksu di Vietnam protes membakar diri.
Perang saudara di India yang badai.
Aku termangu.
Apakah aku akan menyalakan lampu?
Terdengar lonceng berdentang
Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang?
Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya:
Kapan kamu akan menikah?
Apakah kamu akan menikah dengan
perempuan Indonesia atau Belanda?
Kapan kamu akan memberiku seorang cucu?
Apakah lampu akan kunyalakan?
Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
Kenapa aku harus punya anak?
Kalau perang dunia ketiga meletus
nuklir digunakan,
angin bertiup,
hujan turun
setiap mega menjadi ancaman.
Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini?
Rambut rontok. Kulit terkelupas.
Ampas bencana tidak berdaya.
Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
tak mungkin kamu kembali mengungsi
ke dalam rahim ibumu!
Suara apakah itu?
Electronic music?
Jam berapa sekarang?
Apakah sudah terlambat untuk salat subuh?
Buku-buku kuliah di atas meja.
Tanganku mengambang di atas air
Tanganku menjamah kaca jendela.
Hujan menerpa kaca jendela.
Dan dari jauh datang mendekat:
Wajahku.
Apakah yang sedang aku lakukan?
Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku harus berenang melawan arus?
Astaga! Pertanyaan apa ini!
Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba?
Apakah aku takut lalu menghiba?
Pertanyaan apa ini!
Ya, Allah Yang Maharahman.
Aku akan menelpon Linde
dan juga Adrian.
Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda.
Tanganku mengepal di dalam air
tercemar sampah peradaban.
Tidak perlu aku merasa malu
untuk bicara dengan imanku.
Allah Yang Maharahman,
imanku adalah pengalamanku.
0 komentar:
Posting Komentar