Every person has the potential to grow and develop without limits

Rabu, 27 April 2016

Bill Gates tentang kemiskinan

If you born poor
It’s not your mistake
But if you die poor
It’s our mistake


Bill Gates
Share:

Mario teguh tentang karir

Tuhan,
tegaskanlah aku untuk
mengalahkan rasa malasku,
agar
aku bisa menyegerakan
sukses studi dan karirku,
membangun keluargaku yang rukun
dan berkecukupan,
dan menyejahterakan kehidupan
Ibu dan Ayahku.


Mario Teguh
Share:

Ijazah dan Toga

Perantau menjemput mimpi di negeri jauh. Ilmu yang melimpah dan kearifan dipulung dalam lembar-lembar buku, tak peduli tinta yang tumpah dan raungan printer dalam malam-malam panjang untuk sebuah toga. JANGAN PULANG SEBELUM SARJANA!!
.


Nasruddin Syam
Share:

DOA SEORANG PEMUDA RANGKASBITUNG DI ROTTERDAM

Doa Seorang Pemuda Rangkas Bitung di Rotterdam adalah salah satu puisi indah dari almarhum WS. Rendra tentang kritik terhadap pembangunan. Ia mewakili seorang pemuda yang penuh kegalauan melihat kondisi masyarakatnya. Ia melihatnya sebagai sebuah sampah dari pembangunan atau sampah peradaban. Kegalauan yang dirasakannya ketika berada di Rotterdam. Jiwanya terbang kerentetan sejarah dan melihat keindahan kampungnya serta penindasan dan ketidakadilan pada negerinya, seperti bait "Dan para cukong selalu siap membekali para penguasa dengan semprotan antihama".
Kemudian ia sempat ragu untuk menentukan sikap apakah ia melawan atau berdiam diri atas penindasan tersebut? Pada bait "Apakah aku harus berenang melawan arus? Astaga! Pertanyaan apa ini! Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba? Apakah aku takut lalu menghiba? Pertanyaan apa ini!". Ia tetap gelisah. Kemudian ia menyerahkannya kepada Allah.
Puisi ini akan menghancurleburkan perasaan, jika kita melihat kondisi masyarakat kita. Di suatu sore ketika saya berjalan ke sebuah kawasan elite, aku melihat apa yang digambarkan WS Rendra terlihat nyata. Bagaimana bumi putra menjadi hamba di kampungnya sendiri, tidak berdaulat di tanah tempat ia lahir. Aku melihat mereka menyapu jalanan sebagai tukang sapu jalanan, aku melihat mereka sebagai babu di setiap rumah mewah, menjadi sopir ataupun satpan untuk para orang kaya yang bukan bumi putra. Aku melihat sebuah kemiskinan, sebuah keterjajahan secara kultural dan ekonomi. Ya demikianlah sekilas pandangan yang aku dapatkan. Puisi WS Rendra tetap memberikan kesadaran kepada kita tentang bagaimana nasib bangsa ini.
Dan pandangan ini semakin terang ketika reklamasi Teluk Jakarta dilakuka.n. Tanpa bersangka buruk, aku membayangkan bahwa akan dibangun real estate, hotel, wisata, perkantoran yang harganya akan selangit. Yang tampak hanyalah orang-orang kaya yang bukan bumiputra bersileweran. Dan hanya segelintir bumi putra yang ada disana, ya.. Bumiputra menjadi pelayan bagi tuan-tuannya. Tak ada seorangpun yang boleh masuk, kecuali memiliki prevelige. Satpam akan menghadang padahal ia juga bumiputra. Bumiputrapun saling berhadangan untuk tuan-tuan mereka. Jadi pembangunan itu untuk siapa? Padahal, pembangunan itu harus berkeadilan sosial. Apakah ini kecemburuan sosial? Rasa-rasanya ia. Aku bertanya dimana negara yang melidungi masyarakat dari penindasan peradaban ini? Bagaimana negara memberdayakan dan melindungi mereka? Untuk Apa gedung pencakar langit, rumah dibawah laut, jika masyarakatnya hanya melelehkan liur memandangnya dan tak sanggup menyentuhnya, apalagi menikmatinya.
Barangkali pemuda dapat bercermin lagi, pada kegalauan pemuda rangkas bitung dalam puisi indah penuh pergolakan jiwa dari WS Rendra. Kemudian berpikir ulang, apa yang harus dilakukan. Tidak usah muluk-muluk. Cukup memberdayakan dirinya sendiri. Oke kita nikmati saja puisi WS Rendra berikut ini.


DOA SEORANG PEMUDA RANGKASBITUNG DI ROTTERDAM
Oleh W.S. Rendra

Bismillahir rahmaanir rahim.

Allah! Allah!
Napasmu menyentuh ujung jari-jari kakiku
yang menyembul dari selimut.
Aku membuka mata
dan aku tidak bangkit dari tidurku.
Aku masih mengembara
di dalam jiwa

Burung-burung terbakar di langit
dan menggelepar di atas bumi.
Bunga-bunga apipun diterbangkan angin
jatuh di atas air
hanyut di kali, dibawa ke samudera,
disantap oleh kawanan hiu
yang lalu menggelepar
jumpalitan bersama gelombang

Aku merindukan desaku
lima belas kilo dari Rangkasbitung.
Aku merindukan nasi merah,
ikan pepes, desir air menerpa batu,
bau khusus dari leher wanita desa,
suara doa di dalam kabut.

Musna. Musna. Musna.
Para turis, motel dan perkebunan masuk desa
Gadis-gadis desa lari ke kota
bekerja di panti pijat,
para lelaki lari ke kota menjadi gelandangan
Dan akhirnya
digusur atau ditangkapi
disingkirkan dari kehidupan.
Rakyat kecil bagaikan tikus.

Dan para cukong
selalu siap membekali para penguasa
dengan semprotan antihama
Musna. Musna. Musna.

Kini aku di sini. Di Rotterdam.
Menjelang subuh. Angin santer.
Jendela tidak kubuka,
tapi tirainya aku singkapkan.
Kaca basah. Musim gugur.
Aku mencium bau muntah.
Orang Negro histeris ketakutan
dikejar terror kulit putih
di tanah leluhurnya sendiri
di Afrika Selatan
Kekerasan, Kekuasaan. Kekerasan.
Dan lantaran ada tambang intan di sana,
kekuatan adikuasa orang-orang kulit putih
juga termasuk yang demokrat,
memalingkan muka,
bergumam seperti orang bego,
dan mengulurkan tangan di bawah meja,
melakukan kerjasam dagang
dengan para penindas itu.
Dusta. Dusta. Dusta.

Ya, Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku akan berenang melawan arus?
Langit nampak dari jendela.
Ada hujan bulu-bulu angsa.
Aku hilang di dalam kegegapan.
Aku tidak bisa bersikap apa-apa
Ada trem lewat.
Trem? Buldoser? Panser?
Apakah aku akan menelpon Linde?
Atau Adrian?
Berapa lama akan sampai
kalau sekarang aku menulis surat
kepada Makoto Oda di Jepang?
Sia-sia. Musna. Musna.

Rotterdam! Rotterdam!
Hiruk-pikuk suara pasar di Jakarta
Bau daging yang terbakar.
biksu di Vietnam protes membakar diri.
Perang saudara di India yang badai.
Aku termangu.
Apakah aku akan menyalakan lampu?

Terdengar lonceng berdentang
Berapa kali tadi? Jam berapa sekarang?
Ayahku di Rangkasbitung selalu bertanya:
Kapan kamu akan menikah?
Apakah kamu akan menikah dengan
perempuan Indonesia atau Belanda?
Kapan kamu akan memberiku seorang cucu?
Apakah lampu akan kunyalakan?

Di Rangkasbitung pasti musim hujan sudah datang.
Kenapa aku harus punya anak?
Kalau perang dunia ketiga meletus
nuklir digunakan,
angin bertiup,
hujan turun
setiap mega menjadi ancaman.
Jadi anakku nanti harus mengalami semua ini?
Rambut rontok. Kulit terkelupas.
Ampas bencana tidak berdaya.
Ah, anakku, sekali kamu dilahirkan
tak mungkin kamu kembali mengungsi
ke dalam rahim ibumu!

Suara apakah itu?
Electronic music?
Jam berapa sekarang?
Apakah sudah terlambat untuk salat subuh?
Buku-buku kuliah di atas meja.
Tanganku mengambang di atas air
Tanganku menjamah kaca jendela.
Hujan menerpa kaca jendela.
Dan dari jauh datang mendekat:
Wajahku.
Apakah yang sedang aku lakukan?

Ya Allah Yang Maharahman!
Tanganku mengambang di atas air
bersama sampah peradaban.
Apakah aku harus berenang melawan arus?
Astaga! Pertanyaan apa ini!
Apakah aku takut? Ataukah aku menghiba?
Apakah aku takut lalu menghiba?
Pertanyaan apa ini!

Ya, Allah Yang Maharahman.
Aku akan menelpon Linde
dan juga Adrian.
Aku akan menulis surat kepada Makoto Oda.
Tanganku mengepal di dalam air
tercemar sampah peradaban.
Tidak perlu aku merasa malu
untuk bicara dengan imanku.

Allah Yang Maharahman,
imanku adalah pengalamanku.


Share:

Jumat, 22 April 2016

Emakku Bukan Kartini

Emakku bukan Kartini. Dia hanya anak seorang petani kelapa. Istri seorang petani kelapa pula. Sampai akhir hayatnya dia buta huruf latin (bisa membaca huruf Arab).
Dia tak sekolah bukan karena tak hendak. Dia tak sekolah karena berbagai kombinasi yang tak menguntungkannya.
Suatu hari di kampung kedatangan ustaz dari desa lain. Ada pengajian kecil, mempelajari sifat dua puluh. Emak, ketika itu seorang gadis kecil, ingin ikut serta belajar.
Tapi ia dihardik ayahnya. “Kau bukan anak perempuan yang patut untuk menjadi cendekia.” Emak hanya bisa menangis. baca disini
Tapi Emak tak pernah mengeluh. Pun ia tak melawan. Ia hanya menunggu datangnya sesuatu: Kebebasan.
Yang ia tunggu itu datang kemudian, saat ia menikah. Ayah ketika itu adalah seorang buruh tani. Kerjanya memanjat kelapa milik orang, mengumpukannya ke suatu tempat hingga siap dijual.
Ia sepertinya puas dengan upah yang dia terima. Tapi Emak tidak. Ia sudah melihat banyak kehidupan buruh tani. Sampai tua mereka tetap miskin.
Maka ia paksa Ayah untuk pindah kampung. Hijrah. Ini adalah titik tolak baru dalam sejarah hidup Emak. Ia pindah ke kampung baru. Di kampung itu masih tersedia lahan yang bisa dibuka. Hanya perlu tenaga untuk menebang pohon.
Bersama Ayah, dia memulai hidup pengantin barunya di sebuah gubuk, menumpang di tanah paman jauhnya. Salah satu tiang gubuk itu adalah batang bohon hidup. Berdinding dan beratap daun nipah, berlantai belahan kayu nibung. Dari gubuk itulah nasibnya ia ubah.
***
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari kerja keras. Tak pernah Emak berfikir bahwa ia seorang perempuan, sehingga seharusnya beban kerjanya lebih ringan.
Bersama Ayah ia mengayun kampak, menebang rimba untuk membuka lahan. Lahan itu kemudian menjadi ladang padi. Hasil panen padi adalah bekal makan selama setahun. Di lahan itu pula ia mulai menanam kelapa, membuat kebun.
Emak bekerja keras, lebih keras dari orang lain. Sore hari saat orang sudah rapi reriungan dengan keluarga, ia baru pulang dari ladang. Di gubuknya ia masih harus masak untuk makan malam.
Kerja keras itu berhasil. Bebeberapa tahun kemudian kelapanya sudah mulai menghasilkan. Tak banyak memang. Tapi setidaknya keluarga kami sudah punya masa depan.
Seingatku ketika kemudian aku lahir sebagai anak ke delapan, keluarga kami bukan keluarga miskin buruh tani, tapi keluarga pemilik beberapa bidang kebun kelapa, meski bukan pula keluarga kaya.
***
Emak ingin belajar. Ia tak mengeluh ketika niatnya dihalangi. Ia pun tak menangisi kesempatan yang berlalu namun tak pernah dapat ia raih. Tapi ia tahu cara mengubah nasibnya.
“Mereka bisa menghalangiku untuk belajar. Tapi tak seorangpun bisa menghalangi anak-anakku.” begitu tekadnya.
Saat abangku yang tertua memasuki usia sekolah, di kampung kami belum ada sekolah. Emak tak menyerah. Ia bersama ayah mengayuh sampan selama tiga hari. Tiga hari. Ke kampung pamannya, seorang lurah. Di situlah abangku dititipkan untuk bersekolah.
Itulah mulanya, lalu kami semua kakak beradik bisa bersekolah.
Sadar dengan tekad itu Ayah tergerak. Ia ajak orang kampung membangun sekolah. Ia datangkan guru dari kampung lain. Itulah sekolah yang kemudian mengubah nasib banyak orang di kampung kami.
***
Tak cukup bertani, Emak berdagang untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Dia beli pakaian, obat-obatan, apa saja yang laku dijual dari kota, ia jajakan berkeliling dari rumah ke rumah.
Sambil belanja kebutuhan dagang ia bisa menengok anak-anaknya yang sekolah di kota. Di lain ketika Emak jadi perias pengantin. Berkeliling ke berbagai kampung, sambil tetap menjajakan dagangannya. Hingga akhirnya semua anaknya bisa sekolah tinggi.
Di hari tuanya Emak bisa beristirahat. Kami yang sudah bekerja bisa memberi dia makan, mencukupi kebutuhannya.
Saat aku lulus sarjana, Emak bilang, “Kau bekerjalah di sini, di dekat Emak.” Aku menurut. Tapi aku juga masih ingin sekolah.
Saat kesempatan itu datang, Emak keberatan. Dia ingin aku tetap di sisinya. “Sudah cukuplah kau sekolah. Kau sudah jadi sarjana.”
Aku bujuk Emak. “Mak. Ingat kan, dulu Emak bekerja mati-matian agar kami bisa sekolah. Sekarang ini saya dapat beasiswa. Artinya saya tidak perlu membayar untuk sekolah. Malah saya dibayar. Saya mengkhianati cita-cita Emak kalau saya tidak sekolah lagi.” Akhirnya Emak mengalah, aku diijinkannya pergi.
Aku berangkat sekolah ke Malaysia. Tapi saat aku di Jakarta aku dengar Emak pingsan di kamarku saat membersihkannya. Kepergianku begitu melukainya.
Tapi Emak tak meratapi itu. Setelah aku, saudara-saudaraku yang lebih tua juga dapat kesempatan melanjutkan kuliah. Pernah suatu saat hanya ada abangku yang tertua di sisi Emak. Anak laki-lakinya yang lain pergi jauh.
Sedihkah Emak? “Sepi”, katanya. “tapi sepi itu bisa Emak obati dengan rasa bangga.”
***
Emakku bukan Kartini. Ia tak menulis surat, yang membuat orang lain bergerak. Ia bahkan tak bisa menulis. Tapi dengan tangannya, dia mengubah nasibnya. Nasib kami.
Oleh Hasanudin Abdurakhman
Share:

Senin, 04 April 2016

Jangan menyerah


Share:

Doa dilancarkan segala urusan

Dalam hidup, kita hendaknya selalu mengembalikan semua urusan kepada Allah SWT. Setiap urusan, libatkan Allah SWT dalam menjalaninya. Dengan menghadirkan Allah SWT, maka insya Allah segala urusan kita akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, berdoalah kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh supaya urusan kita mendapat pertolongan dari Allah SWT.
Berikut ini ada sebuah do’a bermanfaat untuk meminta kemudahan urusan dan kelancaran dalam berbicara (ucapan). Doa ini yang dibaca oleh Nabi Musa ‘alaihissalam ketika akan menghadapi Fir’aun. Doa ini disebutkan dalam Al Qur’anul Karim:
قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي
Musa berkata, ‘Robbis rohlii shodrii, wa yassirlii amrii, wahlul ‘uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii’ [Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku].” (QS. Thoha: 25-28)
Kita dapat mengamalkan doa ini agar ketika akan menghadapi orang lain dalam rangka berdakwah, mengajarkan sesuatu dan ketika akan menyelesaikan suatu urusan. Hikmah kita membaca doa ini adalah pertama dada (hati) kita akan dilapangkan. Ketika hati sudah lapang, maka kita kan lebih mudah menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan pada orang lain. Kedua, urusan kita menjadi lancar. Tidak ada masalah yang sulit, jika kita mau berdoa kepada-Nya agar dimudahkan. Tiada satu doapun yang disia-siakan Allah. Ketiga, lisan kita akan dimudahkan dalam berbicara dan orang yang mendengar ucapan kita akan memahami apa yang kita utarakan.
Doa ini sangat mudah dilafalkan, sehingga jangan sampai lupa untuk diamalkan. Semoga Allah mempermudah urusan dan ucaman kita. Aamiin
sumber :http://www.fimadani.com/doa-agar-dilancarkan-urusan-dan-ucapan-doa-nabi-musa/

Share:

Sabtu, 02 April 2016

Kisah Shandra Woworuntu, WNI korban perbudakan seks di Amerika

Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan. Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca.
Saya tiba di Amerika Serikat pada minggu pertama bulan Juni 2001. Bagi saya, Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang. Saat saya melangkah menuju imigrasi saya merasa senang berada di sebuah negara baru, meskipun secara ganjil terasa akrab juga karena sudah mendapat gambaran dari yang dilihat di TV dan film-film.
Di bagian kedatangan saya mendengar nama saya dipanggil, lalu saya melihat seorang pria yang tengah memegang sebuah plakat dengan foto saya. Tetapi, bukan soal foto yang saya pedulikan. Agen penyalur kerja di Indonesia menyuruh saya mengenakan pakaian yang terbuka, 'tank top' atau kaus tanpa lengan. Orang yang memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menyangka ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.
Pada kenyataannya hotel itu berada di Chicago, sementara saya tiba di bandara JFK di New York yang jaraknya hampir 1250km, ini menunjukkan betapa naifnya saya. Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia apa yang saya masuki ini.


Usai lulus univrsitas di bidang keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia sebagai seorang analis keuangan dan perdagangan. Tapi pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun kehilangan pekerjaan. baca disini
Share:

Tren Terbaru: Smart City Harus Ramah Lingkungan

Kecanggihan teknologi kini tak hanya dapat membantu mempermudah dalam menjalin komunikasi antar sesama. Aktivitas sehari-hari juga mulai tergantung pada hebatnya dunia dalam jaringan (daring). Tak terkecuali fasilitas sebuah kota untuk melayani masyarakatnya.


Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tangerang Liza Puspadewi mengatakan kota cerdas yang tren dikalangan pengembang saat ini dalam menciptakan fasilitas kota mandiri yang dibangun sebaiknya tetap memerhatikan kelestarian lingkunga.baca disini
Share:

di antara perjalanan

di tengah samudra ilmu

hidupkan lentera yang basah dan redup
jaga asa yang goyah
dalam gulungan ombak menjulang
dalam malam gelap pekat

terlintas untuk kembali
tapi itu adalah kemustahilan
menebak arah saja
merupakan kepusingan
pilihannya hanya satu
tiba di daratan tujuan.

tapi...
betapa rumitnya
semangat sepenuh dada
gerak sejengkal tangan
stres membumbung ke kepala
menghiasi sepanjang hari

tiap gerak menggoyangkan biduk
nafas tersengal di ujung diafragma
bersama rasa garam laut
yang memabukkan dahaga

Ya Allah..
Kilatan cahayamu menjadi harapan
ombak rahmatMu dinanti
mengantar ke sebuah titik pulau
dalam sujud yang penuh penyerahan


Surabaya, awal desember 2015
Share:

Selalu Ada Harapan



Jika dirimu di tengah gurun, terik yang menyegat syaraf, langkah yang melambat, kerongkongan mengering, mata berdebu memerah, tak tahu arah dan tujuan. Selalu ada HARAPAN tentang sebuah oase penyejuk dahaga dikelilingi pohon kurma di depan sana


Nasruddin Syam


Share:

Cepat

Anda pernah mendengar gurauan semacam ini. Seorang kakek bepergian dengan kereta api. Ketika membeli tiket, ia bersikeras kepada petugas loket agar bisa duduk di gerbong paling depan.
Sang petugas loket dengan ramah menjelaskan bahwa gerbong depan sudah penuh. Hanya gerbong bagian belakang yang masih kosong. Tapi, sang kakek bersikukuh.
Dengan bersusah payah, petugas loket menjelaskan lagi kepada sang kakek soal gerbong depan yang sudah penuh. Sang kakek, seakan tak mau mengerti, tetap ngotot.
Merasa penasaran, akhirnya petugas loket bertanya kepada sang kakek, “Mengapa kakek begitu ingin duduk di depan?”
Anda tahu jawaban sang kakek? Begini, “Supaya saya lebih cepat sampai.” Sang petugas loket tertegun. baca disini
Share:

Haji Kecil Mengejar Mimpi

“Kalau kau punya mimpi, Tuhan membuatkan jalan yang menghubungkan engkau dengan mimpimu itu. Kau tak perlu payah-payah membuat jalannya. Kau hanya perlu mencarinya dengan teliti. Boleh jadi ia tersembunyi di balik semak-semak berduri. Kau hanya perlu menyibakkannya. Atau ia berupa jalan mendaki, kau hanya perlu bersabar dalam mendakinya. “
Aku sangat menyukai panggung kecil itu. Jangan bayangkan sebuah pentas. Tak ada apa-apa di situ. Hanya aku. Duduk di tengah kerumunan orang, di sebuah kenduri. baca disini
Orang-orang memandangku dengan kagum. Karena sebelumnya mereka sudah pernah melihat aku melakukannya. Jadi mereka sudah kagum sebelum aku mulai lagi.
Ku tarik napasku pelan. Tak ada gugup, karena aku sudah terbiasa. Lalu aku mulai. "Allahuma inna nas’aluka salamatan fi din…………..”
Ya aku mulai membaca doa. Itulah pertunjukanku di panggung kecil itu. Mungkin kau akan heran, apa pula istimewanya orang membaca doa sampai perlu dikagumi. Nah, itulah kau. Kau tak tahu siapa aku. Aku anak berusia empat tahun. Sudah pandai baca doa. Di kampungku, orang tua pun tak banyak yang pandai baca doa.
Aku sebenarnya tak pernah belajar baca doa. Emak lah yang sebenarnya sedang belajar, baca doa selamat. Ia belajar dari sebuah buku berhuruf Arab-Melayu, dibimbing oleh Ayah. Nah, Ayahku imam mesjid. Dia banyak hafal doa-doa. Doa selamat, doa arwah, bahkan doa yang panjang macam doa rasul pun dia hafal.
Emak belajar, mebaca doa itu keras-keras. Tiap lepas magrib dia membaca doa itu, mencoba menghafalnya. Ayah duduk di samping, membetulkan bacaan Emak kalau dia keliru. Tapi tak selalu begitu. Kadang Ayah mengajar Emak sambil berbaring di tempat tidur, melepas lelah.
Ayah sering begitu. Kalau mengajari kami mengaji dia juga tak selalu duduk di samping kami. Dari atas tempat tidur dia mendengar, lalu membetulkan kalau bacaan kami keliru. Sepertinya Ayah hafal apa yang kami baca.
Begitulah, hari-hari aku mendengar Emak belajar membaca doa. Tanpa aku sadari aku yang lebih dahulu hafal. Emak terkesima.
Kalau ada kenduri aku selalu ikut Ayah. Ayah selalu diundang, karena dia imam mesjid. Tak ada dia mungkin tak ada kenduri. Karena dia lah yang membaca doa. Ada orang lain, satu dua orang yang juga bisa. Tapi orang kampung biasanya lebih suka meminta Ayah membaca doa.
Di suatu kenduri, Emak juga ikut. Ayah duduk di ruang depan, bersama banyak hadirin yang laki-laki. Para perempuan biasanya duduk di ruang dalam. Kadang sambil membantu menyiapkan hidangan yang hendak dikirim ke ruang depan. Aku duduk di dekat Emak. Tak kuduga akan Emak minta sesuatu padaku.
“Bacalah doa.” pintanya.
Terkejut aku. “Apa? Doa apa?”
"Doa. Doa selamat yang sudah kau hafal itu.“
Aku pikir Emak memintaku menggantikan Ayah. Dan itu tak patut. Tak patut anak kecil membaca doa. Tapi Emak menatap mataku, dan berkata sekali lagi, “Bacalah doa tu.”
Aku patuh. Lalu aku baca doa selamat itu.
“Allahumma nas’aluka salamatan fi diin……….”
Aku baca dengan mantap. Emak tersenyum. Aku suka melihat senyum itu. Aku lanjutkan bacaan dengan suara lebih keras. Orang-orang di sekitarku mulai sadar bahwa aku sedang membaca doa. Mereka yang tadinya larut dalam berbagai perbincangan, sontak diam, mendengarkan bacaanku. Aku makin semangat. Aku baca doa yang panjang itu sampai selesai.
"Aduh pintarnya……..“ seorang ibu di dekatku memuji.
"Iya, pintar benar. Awak yang tua ini pun tak pandai berdoa.”
“Betul. Kalah kita oleh budak kecil ni.”
Sekarang aku tahu mengapa Emak menyuruhku baca doa.
Begitulah berulang-ulang. Di setiap kenduri, Emak menyuruhku baca doa. Dan orang-orang memuji. Tak hanya memuji. Orang-orang memberiku uang. Sepuluh dua puluh rupiah. Bahkan ada yang memberi seratus. Senang betul aku.
Selanjutnya Emak tak perlu lagi menyuruhku. Orang-orang biasanya langsung memintaku. Aku turuti permintaan mereka. Aku suka duduk di tengah panggung itu, dengan orang-orang duduk di sekeliling, mendengar aku membaca doa.
Ayah dan Emak senang betul kalau aku diminta membaca doa. Dan Emak tahu, di kenduri orang akan mencari aku. Meminta aku duduk di tengah-tengah, lalu aku membaca doa. Emak tak mau anaknya tampak lusuh. Dia belikan aku baju bagus. Juga peci bagus. Lengkaplah aku, duduk di panggung dengan peci yang bagus.
Ah, aku harus ceritakan ini. Emakku seorang pedagang. Ia berdagang baju, kain sarung, batik. Juga obat, bedak. Macam-macam lah. Semua yang tak dijual di toko Cina di kampung kami dijual Emak. Hampir tiap bulan Emak pergi ke kota untuk membeli barang dagangan. Lalu menjualnya di kampung.
Maka tak sulit bagi Emak untuk membelikan baju untukku. Teluk belanga kecil, warna putih. Juga kain sarung berukuran kecil. Lengkap dengan peci kecil. Hampir tak ada anak di kampung yang punya itu. Mereka semua memakai sarung orang dewasa, yang tentu saja terlalu besar untuk mereka. Hanya aku yang pakai sarung kecil, yang pas benar untukku.
Kelak Emak menambah sesuatu yang membuatku makin senang. Peci haji. Peci putih, yang biasanya hanya dipakai oleh pak haji. Ayah, meskipun imam mesjid tak memakai peci itu, karena belum haji. Tapi aku memakainya. Alangkah senangnya.
Sejak itu orang tak lagi memanggil namaku saat meminta aku membaca doa. Pak Haji Kecil, itulah panggilanku.
“Pak Haji Kecil, mari duduk di sini, baca doa untuk kami.”
“Pintar betul budak, ni”
“Tak usah heranlah. Ayahnya pintar.”
“Kelak kalau besar mesti dia juga akan pergi sekolah ke kota, macam abang-abangnya.“
Itulah omongan orang di sekitarku yang sering aku dengar, usai aku membaca doa. Abangku memang sekolah di kota. Tak banyak orang kampung kami yang sekolah, apalagi sampai ke kota.
Umumnya anak kampung kami hanya sekolah sampai kelas dua atau tiga. Sesudah itu dia sudah cukup umur untuk diajak bekerja di ladang atau kebun kelapa. Jadi tak perlu sekolah.
Hanya sedikit yang mau sekolah sampai tamat kelas enam. Dan hampir tak ada yang menyambung ke SMP. Karena kalau menyambung harus ke kecamatan atau ke kota.
Aku tahu kalau kelak aku tamat SD aku akan menyambung ke kota. Emak sudah berjanji pada kami anak-anaknya. Semua akan menyambung. “Biar nanti kalian bisa jadi pegawai.” begitu kata Emak.
Aku suka benar membayangkan kalau kelak aku sekolah ke kota. Sesekali aku pernah ikut Emak ke kota. Aku suka sekali. Banyak mobil, becak, honda. Semua itu tak ada di kampung kami. Karena itu tak banyak anak kampung yang pernah melihatnya. Aku pernah melihatnya berkali-kali. Jadi aku sering bercerita kepada anak-anak kampung tentang ini.
Tapi aku ingin melihat lebih. Di kampong kami ada beberapa orang haji. Kalau hendak pergi haji mereka mengundang kenduri. Tentu, aku Pak Haji Kecil juga hadir, dan membaca doa. Kelak kalau mereka pulang dari haji, mereka juga mengadakan kenduri lagi. Di situ nanti banyak cerita tentang perjalanan haji.
Yang aku dengar, orang perlu ke kota untuk pergi haji. Dari situ terus naik kapal terbang ke Jakarta. Lalu ke Mekah. Di Mekah inilah haji dilaksanakan.
"Mak, aku ingin ke Mekah,“ kataku suatu hari pada Emak.
"Bagus lah tu. Kelak Haji Kecil ini pasti jadi haji besar.”
“Bukan cuma naik haji, Mak.”
“Dah tu, nak apa?”
“Aku nak sekolah, Mak. Lepas SD di sini, nanti ke kota. Lepas tu ke Jakarta. Lalu nyambung sekolah ke Mekah.“
Emak tersenyum senang.
"Tentu-tentu. Anak Emak yang pintar mesti sekolah tinggi.”
Sejak itu, usai membaca doa, aku selalu menceritakan rencana itu kepada semua pendengarku. Aku akan sekolah tinggi, sampai ke Mekah!
Akhirnya aku tak sekolah ke Jakarta, tapi ke Yogya. Tak ke Mekah, tapi ke Jepang. Ke mana pun juga, aku telah mencapai mimpi kecilku dulu. Mimpi yang tercapai, rasanya sangat indah.

Oleh: Hasanudin Abdurakhman

Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates