Every person has the potential to grow and develop without limits

Rabu, 10 Februari 2016

SEONGGOK JAGUNG DI KAMAR

Sebuah puisi indah dari almarhum WS. Rendra tentang kritik terhadap pembangunan khususnya mengenai pendidikan.  Ia mempertanyakan tujuan pendidikan dan bagaimana proses pendidikan itu. Puisi ini mengguncang kesadaran kita, tentang partisipasi kita dalam sistem pendidikan yang kadang tidak “memanusiakan manusia”, pendidikan yang berorientaasi ke materi, pendidikan yang hanya menghitung jumlah SKS dan lainnya. Maka Seonggok Jagung di Kamar adalah puisi yang mengharubirukan nurani seorang pendidik.
Puisi ini pertama kali saya baca ketika menempuh pendidikan jenjang S1 Unhas di tahun 1990. Ospek tahun itu menjadikan puisi ini sebagai Maskot bersama lagu Iwan Fals dengan judul Bongkar. Tak ada salahnya membaca ulang, karena masih tetap relevan dengan kondisi kekinian.


SEONGGOK JAGUNG DI KAMAR
Oleh W.S. Rendra

Seonggok jagung di kamar 

dan seorang pemuda 
yang kurang sekolahan. 
Memandang jagung itu, 
sang pemuda melihat ladang; 
ia melihat petani; 
ia melihat panen; 
dan suatu hari subuh, 
para wanita dengan gendongan 
pergi ke pasar ……….. 
Dan ia juga melihat 
suatu pagi hari 
di dekat sumur 
gadis-gadis bercanda 
sambil menumbuk jagung 
menjadi maisena. 
Sedang di dalam dapur 
tungku-tungku menyala.   
Di dalam udara murni 
tercium kuwe jagung 
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda. 
Ia siap menggarap jagung 
Ia melihat kemungkinan 
otak dan tangan 
siap bekerja 
Tetapi ini : 
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda tamat SLA 
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. 
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. 
Ia memandang jagung itu 
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . 
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. 
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. 
Ia melihat saingannya naik sepeda motor. 
Ia melihat nomor-nomor lotre. 
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. 
Seonggok jagung di kamar 
tidak menyangkut pada akal, 
tidak akan menolongnya. 
Seonggok jagung di kamar 
tak akan menolong seorang pemuda 
yang pandangan hidupnya berasal dari buku, 
dan tidak dari kehidupan. 
Yang tidak terlatih dalam metode, 
dan hanya penuh hafalan kesimpulan, 
yang hanya terlatih sebagai pemakai, 
tetapi kurang latihan bebas berkarya. 
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan. 
Aku bertanya : 
Apakah gunanya pendidikan 
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing 
di tengah kenyataan persoalannya ? 
Apakah gunanya pendidikan 
bila hanya mendorong seseorang 
menjadi layang-layang di ibukota 
kikuk pulang ke daerahnya ? 
Apakah gunanya seseorang 
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, 
atau apa saja, 
bila pada akhirnya, 
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : 
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !” 
  
Tim, 12 Juli 1975 
Potret Pembangunan dalam Puisi
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates