Sebuah
puisi indah dari almarhum WS. Rendra tentang kritik terhadap pembangunan
khususnya mengenai pendidikan. Ia
mempertanyakan tujuan pendidikan dan bagaimana proses pendidikan itu. Puisi ini
mengguncang kesadaran kita, tentang partisipasi kita dalam sistem pendidikan
yang kadang tidak “memanusiakan manusia”, pendidikan yang berorientaasi ke
materi, pendidikan yang hanya menghitung jumlah SKS dan lainnya. Maka Seonggok
Jagung di Kamar adalah puisi yang mengharubirukan nurani seorang pendidik.
Puisi
ini pertama kali saya baca ketika menempuh pendidikan jenjang S1 Unhas di tahun
1990. Ospek tahun itu menjadikan puisi ini sebagai Maskot bersama lagu Iwan
Fals dengan judul Bongkar. Tak ada salahnya membaca ulang, karena masih tetap
relevan dengan kondisi kekinian.
SEONGGOK
JAGUNG DI KAMAR
Oleh W.S.
Rendra
Seonggok
jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
ia melihat petani;
ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar ………..
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Tim, 12 Juli 1975
Potret Pembangunan dalam Puisi
0 komentar:
Posting Komentar